A. HAKEKAT HAK ASASI MANUSIA
Ketika kalian mempelajari mengenai nilai, norma yang
berlaku dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara tentunya kalian
masih ingat bahwa hak asasi manusia (HAM) merupakan nilai dan norma yang sangat
penting bagi kehidupan manusia di dunia ini. Dengan adanya perlindungan dan
penegakan HAM, maka kehidupan manusia yang beradab dan sejahtera dapat
diwujudkan.
Manusia adalah mahkluk ciptaan Tuhan yang paling
mulia, dan mempunyai derajat yang luhur sebagai manusia, mempunyai budi dan
karsa yang merdeka sendiri. Semua manusia sebagai manusia memiliki martabat dan
derajat yang sama, dan memiliki hak-hak yang sama pula. Derajat manusia yang
luhur berasal dari Tuhan yang menciptakannya. Dengan demikian semua manusia
bebas mengembangkan dirinya sesuai dengan budinya yang sehat. Sebagai mahkluk
ciptaan Tuhan, semua manusia memiliki hak-hak yang sama sebagai manusia.
Hak-hak yang sama sebagai manusia inilah yang sering disebut hak asasi manusia.
Hak asasi manusia berarti hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan
kodratnya, maksudnya hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia. Hak asasi
manusia (HAM) adalah hakhak dasar yang dimiliki manusia sebagai manusia yang
berasal dari Tuhan, dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun.
Dengan mendasarkan pada pengertian HAM di atas, maka
HAM memiliki landasan utama, yaitu:
1. Landasan langsung yang pertama, yaitu kodrat
manusia;
2. Landasan kedua yang lebih dalam, yaitu Tuhan
yang menciptakan manusia.
Jadi HAM pada hakekatnya merupakan hak-hak fundamental
yang melekat pada kodrat manusia sendiri, yaitu hak-hak yang paling dasar dari
aspek-aspek kodrat manusia sebagai manusia. Setiap manusia adalah ciptaan yang
luhur dari Tuhan Yang Maha Esa. Setiap manusia harus dapat mengembangkan
dirinya sedemikian rupa sehingga ia harus berkembang secara leluasa.
Pengembangan diri sebagai manusia dipertanggung-jawabkan kepada Tuhan sebagai
asal dan tujuan hidup manusia. Semua hak yang berakar dalam kodratnya sebagai
manusia adalah hak-hak yang lahir bersama dengan keberadaan manusia itu
sendiri. Dengan demikian hak-hak ini adalah universal atau berlaku di manapun
di dunia ini. Di mana ada manusia di situ ada HAM dan harus dijunjung tinggi
oleh siapapun tanpa kecuali. HAM tidak tergantung dari pengakuan orang lain,
tidak tergantung dari pengakuan mesyarakat atau negara. Manusia memperoleh hak-hak
asasi itu langsung dari Tuhan sendiri karena kodratnya (secundum suam naturam).
Penindasan terhadap HAM bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan, sebab
prinsip dasar keadilan dan kemanusiaan adalah bahwa semua manusia memiliki
martabat yang sama dengan hak-hak dan kewajibankewajiban yang sama. Oleh
karenanya, setiap manusia dan setiap negara di dunia wajib mengakui dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM) tanpa kecuali. Penindasan terhadap
HAM berarti pelanggaran terhadap HAM.
Pengakuan oleh orang-orang lain maupun oleh negara
ataupun agama tidaklah membuat adanya HAM itu. Demikian pula orang-orang lain,
negara dan agama tidaklah dapat menghilangkan atau menghapuskan adanya HAM.
Setiap manusia, setiap negara di manapun, kapanpun wajib mengakui dan
menjunjung tinggi HAM sebagai hak-hak fundamental atau hak-hak dasar.
Penindasan terhadap HAM adalah bertentangan dengan keadilan dan kemanusiaan.
Untuk mempertegas hakekat dan pengertian HAM di atas dikuatkanlah dengan
landasan hukum HAM sebagaimana dikemukakan dalam ketentuan Pasal 1 angka 1
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bahwa hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan
setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
B. HUKUM DAN KELEMBAGAAN HAK ASASI MANUSIA
1. Beberapa Ketentuan Hukum atau Instrumen HAM
John Locke, pemikir politik dari Inggris, menyatakan
bahwa semua orang diciptakan sama dan memiliki hak–hak alamiah yang tidak dapat
dilepaskan. Hak alamiah itu meliputi hak atas hidup, hak kemerdekaan, hak milik
dan hak kebahagiaan. Pemikiran John Locke ini dikenal sebagai konsep HAM yang
sangat berpengaruh terhadap perkembangan HAM di berbagai belahan dunia.
Pengakuan hak asasi manusia (HAM) secara konstitusional ditetapkan pertama kali
di Amerika Serikat pada tahun 1776 dengan “Unanimous Declaration of
Independence”, dan hal ini dijadikan contoh bagi majelis nasional Perancis
ketika menerima deklarasi hak-hak manusia dan warga negara (Declaration des
Droits de l’homme et de Citoyen) 26 Agustus 1789. Badan dunia yaitu
PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) juga memperkenalkan pengertian hak asasi
manusia yang bisa kita dapatkan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Right). Deklarasi Universal merupakan pernyataan umum
mengenai martabat yang melekat dan kebebasan serta persamaan manusia yang harus
ada pada pengertian hak asasi manusia
Dalam UDHR pengertian HAM dapat ditemukan dalam
Mukaddimah yang pada prinsipnya dinyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan
pengakuan akan martabat yang terpadu dalam diri setiap orang akan hak–hak yang
sama dan tak teralihkan dari semua anggota keluarga manusia ialah dasar dari
kebebasan, keadilan dan perdamaian dunia. Sejak munculnya Deklarasi Universal
HAM itulah secara internasional HAM telah diatur dalam ketentuan hukum sebagai instrumen
internasional. Ketentuan hukum HAM atau disebut juga Instrumen HAM merupakan
alat yang berupa peraturan perundang–undangan yang digunakan dalam menjamin
perlindungan dan penegakan HAM. Instrumen HAM terdiri atas instrumen nasional
HAM dan instrumen internasional HAM. Instrumen nasional HAM berlaku terbatas
pada suatu negara sedangkan instrumen internasional HAM menjadi acuan
negara–negara di dunia dan mengikat secara hukum bagi negara yang telah
mengesahkannya (meratifikasi).
Di negara kita dalam era reformasi sekarang ini, upaya
untuk menjabarkan ketentuan hak asasi manusia telah dilakukan melalui amandemen
UUD 1945 dan diundangkannya Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM serta meratifikasi beberapa konvensi internasional
tentang HAM.
a. Undang Undang RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang
HAM.
Dalam amandemen UUD 1945 ke dua, ada Bab yang secara
eksplisit menggunakan istilah hak asasi manusia yaitu Bab XA yang bersikan
pasal 28A s/d 28J. Dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999 jaminan HAM lebih terinci
lagi. Hal itu terlihat dari jumlah bab dan pasal – pasal yang dikandungnya
relatif banyak yaitu terdiri atas XI bab dan 106 pasal. Apabila dicermati
jaminan HAM dalam UUD 1945 dan penjabarannya dalam UURI Nomor 39 Tahun 1999,
secara garis besar meliputi :
1) Hak untuk hidup (misalnya hak: mempertahankan
hidup, memperoleh kesejahteraan lahir batin, memperoleh lingkungan hidup yang
baik dan sehat);
2) Hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan.
3) Hak mengembangkan diri (misalnya hak :
pemenuhan kebutuhan dasar, meningkatkan kualitas hidup, memperoleh manfaat dari
iptek, memperoleh informasi, melakukan pekerjaan sosial);
4) Hak memperoleh keadilan (misalnya hak : kepastian
hukum, persamaan di depan hukum);
5) Hak atas kebebasan pribadi (misalnya hak :
memeluk agama, keyakinan politik, memilih status kewarganegaraan, berpendapat
dan menyebarluaskannya, mendirikan parpol, LSM dan organisasi lain, bebas
bergerak dan bertempat tinggal);
6) Hak atas rasa aman (misalnya hak : memperoleh suaka
politik, perlindungan terhadap ancaman ketakutan, melakukan hubungan
komunikasi, perlindungan terhadap penyiksaan, penghilangan dengan paksa dan
penghilangan nyawa);
7) Hak atas kesejahteraan (misalnya hak : milik
pribadi dan kolektif, memperoleh pekerjaan yang layak, mendirikan serikat
kerja, bertempat tinggal yang layak, kehidupan yang layak, dan jaminan sosial);
8) Hak turut serta dalam pemerintahan (misalnya
hak: memilih dan dipilih dalam pemilu, partisipasi langsung dan tidak langsung,
diangkat dalam jabatan pemerintah, mengajukan usulan kepada pemerintah);
9) Hak wanita (hak yang sama/tidak ada
diskriminasi antara wanita dan pria dalam bidang politik, pekerjaan, status
kewarganegaraan, keluarga perkawinan);
10)Hak anak (misalnya hak : perlindungan oleh orang
tua, keluarga, masyarakat dan negara, beribadah menurut agamanya, berekspresi,
perlakuan khusus bagi anak cacat, perlindungan dari eksploitasi ekonomi,
pekerjaan, pelecehan sexual, perdagangan anak, penyalahgunaan narkotika,
psikotropika dan zat adiktif lainnya).
b. Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Ratifikasi Konvensi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan
(disingkat sebagai Konvensi Wanita).
Dengan ratifikasi Konvensi Wanita tersebut, maka
segala bentuk diskriminasi yang didasarkan pada perbedaan jenis kelamin
(laki–laki – perempuan) harus dihapus. Misalnya, perlakuan pemberian upah buruh
wanita dibawah upah buruh pria harus dihapus, begitu pula dunia politik
bukanlah milik pria maka perempuan harus diberi kesempatan yang sama menduduki
posisi dalam partai politik maupun pemerintahan. Dengan demikian terjadi
perbedaan penghargaan terhadap pria dan wanita, bukan karena jenis kelaminnya
tetapi karena perbedaan pada prestasi. Kita harus menyadari bahwa pembangunan
suatu negara, kesejahteraan dunia, dan usaha perdamaian menghendaki partisipasi
maksimal kaum wanita atas dasar persamaan dengan kaum pria. Kita tidak dapat
menyangkal besarnya sumbangan wanita terhadap kesejahteraan keluarga dan
membesarkan anak . Hal ini menunjukan keharusan adanya pembagian tanggung jawab
antara pria dan wanita dan masyarakat sebagai keseluruhan, bukan dijadikan
dasar diskriminasi.
c. Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak
Latar belakang dikeluarkannya undang-undang ini,
sebagaimana dikemukakan dalam Penjelasan Umum undang-undang ini antara lain:
1) Bahwa anak adalah amanah sekaligus karunia
Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita jaga karena dalam dirinya
melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung
tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat
dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang
Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa
depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak
atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan
kebebasan.
2) Meskipun Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia telah mencantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban
dan tanggung jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara
untuk memberikan perlindungan pada anak masih memerlukan suatu undang-undang
mengenai perlindungan anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban
dan tanggung jawab tersebut.
Dengan demikian, pembentukan undang-undang ini
didasarkan pada pertimbangan bahwa perlindungan anak dalam segala aspeknya
merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya dalam memajukan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3) Orang tua, keluarga, dan masyarakat bertanggung
jawab untuk menjaga dan memelihara hak asasi tersebut sesuai dengan kewajiban
yang dibebankan oleh hukum. Demikian pula dalam rangka penyelenggaraan
perlindungan anak, negara dan pemerintah bertanggung jawab menyediakan
fasilitas dan aksesibilitas bagi anak, terutama dalam menjamin pertumbuhan dan
perkembangannya secara optimal dan terarah.
4) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 ini
menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah
dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus
demi terlindunginya hakhak anak. Rangkaian kegiatan tersebut harus
berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik
fisik, mental, spiritual maupun sosial. Tindakan inidimaksudkan untuk
mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa
yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia
dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa dan negara.
5) Upaya perlindungan anak perlu dilaksanakan
sedini mungkin, yakni sejak dari janin dalam kandungan sampai anak berumur 18
(delapan belas) tahun. Bertitik tolak dari konsepsi perlindungan anak yang
utuh, menyeluruh, dan komprehensif, undang-undang ini meletakkan kewajiban
memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut :
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup,
dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
6) Dalam melakukan pembinaan, pengembangan dan
perlindungan anak, perlu peran masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan
anak, lembaga keagamaan, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan,
organisasi sosial, dunia usaha, media massa, atau lembaga pendidikan.
d. Undang Undang RI Nomor 8 Tahun 1998 tentang
Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain
yang Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia (Convention
Against Torture and Other Cruel, Inhumanor Degrading Treatment or Punishment).
Konvensi ini mengatur pelarangan penyiksaan baik fisik
maupun mental, dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi,
atau merendahkan martabat manusia yang dilakukan oleh atau atas hasutan dari
atau dengan persetujuan/sepengetahuan pejabat publik dan orang lain yang
bertindak dalam jabatannya. Ini berarti negara RI yang telah meratifikasi wajib
mengambil langkah-langkah legislatif, administratif, hukum dan langkah-langkah
efektif lain guna mencegah tindakan penyiksaan (tindak pidana) di dalam wilayah
yuridiksinya. Misalnya langkah yang dilakukan dengan memperbaiki cara
interograsi dan pelatihan bagi setiap aparatur penegak hukum dan pejabat publik
lain yang bertanggungjawab terhadap orang – orang yang dirampas kemerdekaannya.
e. Undang Undang RI Nomor 1 Tahun 2000
Tentang Pengesahan Konvensi ILO nomor 182 Mengenai Pelanggaran dan Tindakan
Segera Penghapusan Bentuk–Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.
Menurut Konvensi ILO (International Labour
Organization/Organisasi Buruh Internasional) tersebut, istilah “bentuk-bentuk
terburuk kerja anak mengandung pengertian sebagai berikut:
1). Segala bentuk perbudakan atau
praktik-praktik sejenis perbudakan, misalnya:
a) penjualan anak;
b) perdagangan anak-anak;
c) kerja ijon;
d) perhambaan (perbudakan);
e) kerja paksa atau wajib kerja;
f) pengerahan anak-anak secara paksa atau wajib
untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata;
2). Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak
untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau untuk pertunjukan-pertunjukan
porno;
3). Pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak
untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan.
4). Pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan
tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau
moral anak.
Dengan UURI Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan
Konvensi ILO nomor 182, maka negara Republik Indonesia wajib mengambil
langkah-langkah legislatif, administratif, hukum, dan langkah-langkah efektif
lain guna mencegah tindakan praktek memperkerjakan anak dalam bentuk-bentuk
terburuk kerja anak dalam industri maupun masyarakat.
f. Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 2005
tentang Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan
Budaya (International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights).
Kovenan ini mengukuhkan dan menjabarkan pokok-pokok
HAM di bidang ekonomi, sosial dan budaya dari UDHR atau DUHAM (Deklarasi
Universal Hak Asasi Manusia) dalam ketentuan-ketentuan yang mengikat secara
hukum. Kovenan terdiri dari pembukaan dan pasal-pasal yang mencakup 31 pasal.
Intinya kovenan ini mengakui hak asasi setiap orang di bidang ekonomi, sosial,
dan budaya, yang meliputi :
1) hak atas pekerjaan,
2) hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan
menyenangkan,
3) hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh,
4) hak atas jaminan sosial, termasuk asuransi sosial ,
5) hak atas perlindungan dan bantuan yang seluas
mungkin bagi keluarga, ibu, anak, dan orang muda,
6) hak atas standar kehidupan yang memadai,
7) hak untuk menikmati standar kesehatan fisik dan
mental yang tertinggi yang dapat dicapai,
8) hak atas pendidikan , dan
9) hak untuk ikut serta dalam kehidupan budaya.
g. Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang
Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak–hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights).
Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok HAM di bidang
sipil dan politik yang tercantum dalam UDHR sehingga menjadi
ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari
pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal. Hak–hak sipil
(kebebasan–kebebasan fundamental) dan hak–hak politik meliputi :
Hak-hak sipil :
1) hak hidup;
2) hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman
yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;
3) hak bebas dari perbudakan;
4) hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara
sewenang-wenang;
5) hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan
negara manapun termasuk negara sendiri;
6) hak persamaan di depan peradilan dan badan
peradilan;
7) hak atas praduga tak bersalah.
8) hak kebebasan berpikir;
9) hak berkeyakinan dan beragama;
10)hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan
pihak lain;
11)hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
12)hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
13)
hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah
umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan
keharusanmempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
14)
hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum dan
15)
hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.
Hak – hak Politik :
1) hak untuk berkumpul yang bersifat damai;
2) hak kebebasan berserikat;
3) hak ikut serta dalam urusan publik;
4) hak memilih dan dipilih;
5) hak untuk mempunyai aksespada jabatan publik di
negaranya ;
h. Undang-undang RI Nomor 26 tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM.
Undang-undang ini mengatur pengadilan terhadap
pelanggaran HAM berat.
2. Latar Belakang Lahirnya Instrumen Nasional HAM
Bagaimana latar belakang lahirnya instrumen nasional
HAM atau perundang-undangan nasional HAM? Jaminan hak asasi manusia dalam UUD
1945 (sebelum perubahan/amandemen) menurut Kuntjara Purbopranoto belum disusun
secara sistematis dan hanya empat pasal yang memuat ketentuan–ketentuan tentang
hak asasi, yakni pasal 27, 28, 29 dan 31. Meskipun demikian bukan berarti HAM
kurang mendapat perhatian, karena susunan pertama UUD 1945 adalah merupakan
inti-inti dasar kenegaraan.
Dari keempat pasal tersebut, terdapat 5 (lima) pokok
mengenai hak – hak asasi manusia yang terdapat dalam batang tubuh UUD 1945,
yaitu :
a. Kesamaan kedudukan dan kewajiban warga
negara di dalam hukum dan di muka pemerintahan (Pasal 27 ayat 1);
b. Hak setiap warga negara atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak (Pasal 27 ayat 2);
c. Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan
undang – undang (Pasal 28);
d. Kebebasan asasi untuk memeluk agama bagi
penduduk di jamin oleh Negara (Pasal 29 ayat 2);
e. Hak atas pengajaran (Pasal 31 ayat 1).
Masuknya pasal–pasal HAM dalam UUD 1945 di atas, tidak
lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan
(terutama Soekarno dan Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukan (terutama
Moh. Hatta). Alasan kedua pendapat yang berbeda tersebut sebagaimana dituturkan
Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara
lain sebagai berikut :
Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang
pertama bahwa ”kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes
kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan
sosial. Buat apa grondwet (undang–undang dasar) menuliskan bahwa manusia bukan
saja mempunyai hak kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan
berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial)
yang demikian itu ? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu
kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh
karena itu, jikalau kita betul–betul hendak mendasarkan negara kita kepada
paham kekeluargaan, faham tolong–menolong, faham gotong–royong dan keadilan
sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan
liberalisme daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan
bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitia Perancang UUD
satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di
kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian didukung oleh
Soepomo.
Sedangkan pendapat Bung Hatta, antara lain menyatakan
: “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat
supaya negara yang kita bikin jangan sampai menjadi negara kekuasaan. Kita
menghendaki Negara Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan
gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat. Tetapi
disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada
negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab
itu ada baiknya dalam salah satu pasal yang mengenai warga negara disebutkan
juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap–tiap warga negara
rakyat Indonesia, supaya tiap–tiap warga negara jangan takut mengeluarkan
suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung
oleh Muhammad Yamin.
Dengan demikian memahami pokok-pokok hak asasi manusia
dalam UUD 1945 rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Bung
Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta
melihat dalam kenyataan pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh
penguasa. Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia
bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan
keadilan sosial sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa. Apa yang
dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah. Hal itu dapat dicermati bahwa
pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat
terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke–21
persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan HAM,
demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang
otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya
dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia sebagai warga dunia dan anggota PBB memiliki
tanggungjawab moral untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.
Begitu pula atas desakan masyarakat bagi pengembangan kehidupan yang demokratis
dan pelaksanaan HAM serta adanya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia, maka dipandang perlu membentuk Undang–Undang HAM. UURI Nomor 39
Tahun 1999 tentang HAM lahir dalam suasana di atas.
3. Kelembagaan HAM
Dalam upaya perlindungan dan penegakan HAM telah
dibentuk lembaga–lembaga resmi oleh pemerintah seperti Komnas HAM, Komisi
Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Peradilan HAM dan lembaga–lembaga
yang dibentuk oleh masyarakat terutama dalam bentuk LSM pro-demokrasi dan HAM.
Uraian masing-masing sebagai berikut.
a. Komnas HAM Komisi Nasional (Komnas) HAM pada awalnya dibentuk dengan
Keppres Nomor 50 Tahun 1993. Pembentukan komisi ini merupakan jawaban terhadap
tuntutan masyarakat maupun tekanan dunia internasional tentang perlunya
penegakan hak asasi manusia di Indonesia. Kemudian dengan lahirnya UURI Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang didalamnya mengatur tentang
Komnas HAM ( Bab VIII, pasal 75 s/d. 99) maka Komnas HAM yang terbentuk dengan
Kepres tersebut harus menyesuaikan dengan UURI Nomor 39 Tahun 1999. Komnas HAM
bertujuan:
1) membantu pengembangan kondisi yang kondusif bagi
pelaksanaan hak asasi manusia.
2) meningkatkan perlindungan dan penegakan hak
asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan
kemampuan berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.
Untuk melaksanakan tujuan tersebut, Komnas HAM
melaksanakan fungsi :
1) Fungsi pengkajian dan penelitian. Untuk
melaksanakan fungsi ini, Komnas HAM berwenang antara lain:
a) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai
instrumen internasional dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai
kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi.
b) melakukan pengkajian dan penelitian berbagai
peraturan perundang-undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan,
perubahan dan pencabutan peraturan perundang- undangan yang berkaitan dengan
hak asasi manusia.
2) Fungsi penyuluhan.
Dalam rangka pelaksanaan fungsi ini, Komnas HAM
berwenang:
a) menyebarluaskan wawasan mengenai hak
asasi manusia kepada masyarakat Indonesia.
b) meningkatkan kesadaran masyarakat tentang hak asasi
manusia melalui lembaga pendidikan formal dan non formal serta berbagai
kalangan lainnya.
c) kerjasama dengan organisasi, lembaga atau
pihak lain baik tingkat nasional, regional, maupun internasional dalam bidang
hak asasi manusia.
3) Fungsi pemantauan.
Fungsi ini mencakup kewenangan antara lain:
a) pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut.
b) penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa
yang timbul dalam masyarakat yang patut diduga terdapat pelanggaran hak asasi
manusia.
c) pemanggilan kepada pihak pengadu atau korban
maupun pihak yang diadukan untuk dimintai atau didengar keterangannya.
d) pemanggilan saksi untuk dimintai dan
didengarkesaksiannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang
diperlukan.
e) peninjauan di tempat kejadian dan
tempat lainnya yang dianggap perlu.
f) pemanggilan terhadap pihak terkait untuk
memberikan keterangan secara tertulis ataumenyerahkan dokumen yang diperlukan
sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan.
g) pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan,
bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan
persetujuan Ketua Pengadilan.
h) pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua
Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan,
bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam
masalah publik dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat
Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.
4) Fungsi mediasi.
Dalam melaksanakan fungsi mediasi Komnas HAM berwenang
untuk melakukan :
a) perdamaian kedua belah pihak.
b) penyelesaian perkara melalui cara konsultasi,
negosiasi, konsiliasi, dan penilaian ahli.
c) pemberian saran kepada para pihak untuk
menyelesaikan sengketa melalui pengadilan.
d) penyampaian rekomendasi atas sesuatu kasus
pelanggaran hak asasi manusia kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti
penyelesaiannya.
e) penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran
hak asasi manusia kepada DPR RI untuk ditindaklanjuti.
Bagi setiap orang dan atau kelompok yang memiliki
alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan dan
pengaduan lisan atau tertulis pada Komnas HAM. Pengaduan hanya akan dilayani
apabila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti
awal yang jelas tentang materi yang diadukan.
b. Pengadilan HAM Pengadilan HAM
Merupakan pengadilan khusus yang berada di lingkungan
peradilan umum dan berkedudukan di daerah kabupaten atau kota. Pengadilan HAM
merupakan pengadilan khusus terhadap pelanggaran HAM berat yang meliputi
kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (UURI Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM) Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang
dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau
sebagian kelompk bangsa, ras, kelompok, etnis, dan agama. Cara yang dilakukan
dalam kejahatan genosida, misalnya ; membunuh, tindakan yang mengakibatkan
penderitaan fisik atau mental, menciptakan kondisi yang berakibat kemusnahan
fisik, memaksa tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran, memindahkan secara
paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
Sedangkan yang dimaksud kejahatan terhadap kemanusiaan
adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang
meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan
secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan terhadap kemanusiaan
misalnya:
1) pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, penyiksaan;
2) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
3) perampasan kemerdekaan atau perampasan kemerdekaan
fisik lain secara sewenang-wenang yang melanggar ketentuan pokok hukum
internasional;
4) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran
secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa
atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
5) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau
perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis,
budaya, agama, jenis kelamin, atau alasan lain yang diakui secara universal
sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
6) penghilangan orang secara paksa (penangkapan,
penahanan, atau penculikan disertai penolakan pengakuan melakukan tindakan
tersebut dan pemberian informasi tentang nasib dan keberadaan korban dengan
maksud melepaskan dari perlindungan hukum dalam waktu yang panjang);
7) kejahatan apartheid (penindasan dan dominasi oleh
suatu kelompok ras atas kelompok ras atau kelompok lain dan dilakukan dengan
maskud untuk mempertahan peraturan pemerintah yang sedang berkuasa atau rezim).
Pengadilan HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran
HAM yang berat. Pengadilan HAM juga berwenang memeriksa dan memutus perkara
pelanggaran HAM yang berat yang dilakukan di luar batas territorial wilayah
negara RI oleh Warga Negara Indonesia (WNI). Disamping itu juga dikenal
Pengadilan HAM Ad Hoc, yang diberi kewenangan untuk mengadili pelanggaran HAM
berat yang terjadi sebelum di undangkannya UURI Nomor 26 Tahun 2000 tentang
Pengadilan HAM. Oleh karena itu pelanggaran HAM berat tidak mengenal
kadaluwarsa. Dengan kata lain adanya Pengadilan HAM Ad Hoc merupakan
pemberlakuan asas retroactive (berlaku surut) terhadap pelanggaran HAM berat.
c. Komisi Nasional Perlindungan Anak dan Komisi
Perlindungan Anak Indonesia
Komisi National Perlindungan Anak (KNPA) ini lahir
berawal dari gerakan nasional perlindungan anak yang sebenarnya telah dimulai
sejak tahun 1997. Kemudian pada era reformasi, tanggung jawab untuk memberikan
perlindungan anak diserahkan kepada masyarakat. Tugas KNPA melakukan
perlindungan anak dari perlakuan, misalnya: diskriminasi, eksploitasi, baik
ekonomi maupun seksual, penelantaraan, kekejaman, kekerasan, penganiayaan,
ketidakadilan dan perlakuan salah yang lain. KNPA juga yang mendorong lahirnya
UURI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Disamping KNPA juga dikenal
KPAI (Komisi Perlindungan Anak Indonesia). KPAI dibentuk berdasarkan amanat pasal
76 UU RI Nomor 23 Tahun 2002.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia bertugas :
a. melakukan sosialisasi seluruh ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak
b. mengumpulkan data dan informasi, menerima
pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
c. memberikan laporan, saran, masukan,
dan pertimbangan kepada Presiden dalam rangka perlindungan anak. Misalnya untuk
tugas memberikan masukan kepada Presiden/pemerintah KPAI meminta pemerintah
segera membuat undang–undang larangan merokok bagi anak atau setidak-tidaknya
memasukan pasal larangan merokok bagi anak dalam UU.
d. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap
Perempuan
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
dibentuk berdasarkan Keppres Nomor 181 Tahun 1998. Dasar pertimbangan
pembentukan Komisi Nasional ini adalah sebagai upaya mencegah terjadinya dan
menghapus segala bentuk kekerasan terhadap perempuan. Komisi Nasional ini bersifat
independen dan bertujuan:
a. menyebarluaskan pemahaman tentang
bentuk kekerasan terhadap perempuan.
b. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi
penghapusan bentuk kekerasan terhadap perempuan.
c. meningkatkan upaya pencegahan dan penanggulangan segala
bentuk kekerasan terhadap perempuan dan hak asasi perempuan.
Dalam rangka mewujudkan tujuan di atas, Komisi
Nasional ini memiliki kegiatan sebagai berikut:
1) penyebarluasan pemahaman, pencegahan,
penanggulangan, penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan.
2) pengkajian dan penelitian terhadap berbagai
instrumen PBB mengenai perlindungan hak asasi manusia terhadap perempuan.
3) pemantauan dan penelitian segala bentukkekerasan
terhadap perempuan dan memberikan pendapat, saran dan pertimbangan kepada
pemerintah.
4) penyebarluasan hasil pemantauan dan penelitian atas
terjadinya kekerasan terhadap perempuan kepada masyarakat.
5) pelaksanaan kerjasama regional dan internasional
dalam upaya pencegahan dan penanggulangan kekerasan terhadap perempuan.
e. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Komisi
Kebenaran
Dibentuk berdasarkan UURI Nomor 27 Tahun 2004 tentang
Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Keberadan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi
(KKR) untuk :
1) Memberikan alternatif penyelesaian pelanggaran
HAM berat di luar Pengadilan HAM ketika penyelesaian pelanggaran HAM berat
lewat pengadilan HAM dan pengadilan HAM Ad Hoc mengalami kebuntuan;
2) Sarana mediasi antara pelaku dengan korban
pelanggaran HAM berat untuk menyelesaikan di luar pengadilan HAM.
Dengan demikian diharapkan masalah pelanggaran HAM
berat dapat diselesaikan, sebab kalau tidak dapat diselesaikan maka akan
menjadi ganjalan bagi upaya menciptakan rasa keadilan dan kebenaran dalam
masyarakat. Apabila rasa keadilan dan keinginan masyarakat untuk mengungkap
kebenaran dapat diwujudkan, maka akan dapat diwujudkan rekonsiliasi
(perdamaian/perukunan kembali). Rekonsiliasi ini penting agar kehidupan
berbangsa dan bernegara dapat dihindarkan dari konflik dan dendam sejarah yang
berkepanjangan antar sesama anak bangsa. Perdamaian sesama anak bangsa
merupakan modal utama untuk membangun bangsa dan negara ini ke arah kemajuan
dalam segala bidang.
f. LSM Pro-demokrasi dan HAM
Disamping lembaga penegakan hak asasi manusia yang
dibentuk oleh pemerintah, masyarakat juga mendirikan berbagai lembaga HAM.
Lembaga HAM bentukan masyarakat terutama dalam bentuk LSM (Lembaga Swadaya
Masyarakat) atau NGO (Non Governmental Organization) yang programnya berfokus
pada upaya pengembangan kehidupan yang demokratis (demokratisasi) dan
pengembangan HAM. LSM ini sering disebut sebagai LSM Prodemokrasi dan HAM. Yang
termasuk LSM ini antara lain :
a) YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum
Indonesia),
b) Kontras (Komisi untuk Orang Hilang dan Korban
Tindak Kekerasan),
c) Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi
Masyarakat),
d) PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi
Indonesia).
LSM yang menangani berbagai aspek HAM, sesuai dengan
minat dan kemampuannya sendiri pada umumnyaterbentuk sebelum didirikannya
Komnas HAM. Dalam pelaksanaan perlindungan dan penegakkanHAM, LSM tampak
merupakan mitra kerja Komnas HAM. Misalnya, LSM mendampingi para korban
pelanggaran HAM ke Komnas HAM. Di berbagai daerah-pun kini telah
berkembang pesat LSM dengan minat pada aspek HAM dan demokrasi maupun aspek
kehidupan yang lain. Misalnya di Yogyakarta terdapat kurang lebih 22 LSM. LSM
di daerah Yogyakarta ada yang merupakan cabang dari LSM Pusat (Nasional) juga
ada yang berdiri sendiri.
C. KASUS PELANGGARAN DAN UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI
MANUSIA
1. Penggolongan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Pelanggaran hak asasi manusia adalah setiap perbuatan
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut
hak asasi manusia (UURI Nomor 39 Tahun 1999). Kapan dinyatakan adanya
pelanggaran HAM ? Hampir dapat dipastikan dalam kehidupan seharai–hari dapat
ditemukan pelanggaran hak asasi manusia baik di Indonesia maupun di belahan
dunia lain. Pelanggaran itu baik dilakukan oleh negara/ pemerintah maupun oleh
masyarakat.
Menurut Richard Falk kategori–kategori pelanggaran HAM
yang dianggap kejam, yaitu :
a. Pembunuhan besar–besaran (genocide).
b. Rasialisme resmi.
c. Terorisme resmi berskala besar.
d. Pemerintahan totaliter.
e. Penolakan secara sadar untuk memenuhi kebutuhan–kebutuhan
dasar manusia.
f. Perusakan kualitas lingkungan.
g. Kejahatan – kejahatan perang.
Akhir–akhir ini di dunia Internasional maupun di
Indonesia, dihadapkan banyak pelanggaran hak asasi manusia dalam wujud teror.
Leiden & Schmit, mengartikan teror sebagai tindakan berasal dari suatu
kekecewaan atau keputusasaan, biasanya disertai dengan ancaman– ancaman tak
berkemanusiaan dan tak mengenal belas kasihan terhadap kehidupan dan
barang–barang dilakukan dengan cara-cara melanggar hukum. Teror dapat dalam
bentuk pembunuhan, penculikan, sabotase, subversiv, penyebaran desas–desus,
pelanggaran peraturan hukum, main hakim sendiri, pembajakan dan penyanderaan.
Teror dapat dilakukan oleh pemerintah mapun oleh masyarakat (oposan). Teror
sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang kejam (berat), karena
menimbulkan ketakutan sehingga rasa aman sebagai hak setiap orang tidak lagi
dapat dirasakan. Dalam kondisi ketakutan maka seseorang/masyarakat sulit untuk
melakukan hak atau kebebasan yang lain, sehingga akan menimbulkan kesulitan
dalam upaya mengembangkan kehidupan yang lebih maju dan bermartabat.
Penggolongan pelanggaran HAM di atas merupakan contoh
pelanggaran HAM yang berat dikemukakan Ricahard Falk. Dalam UURI Nomor 39 Tahun
1999 yang dikategorikan pelanggaran HAM yang berat adalah :
a. pembunuhan masal (genocide);
b. pembunuhan sewenang–wenang atau diluar
putusan pengadilan;
c. penyiksaan;
d. penghilangan orang secara paksa;
e. perbudakan atau diskriminasi yang dilakukan
secara sistematis.
Disamping pelanggaran HAM yang berat juga dikenal
pelanggaran HAM biasa. Pelanggaran HAM biasa antara lain : pemukulan,
penganiayaan, pencemaran nama baik, menghalangi orang untuk mengekspresikan
pendapatnya, penyiksaan, menghilangkan nyawa orang lain.
2. Berbagai Contoh Pelanggaran HAM
Banyak terjadi pelanggaran HAM di Indonesia, baik yang
dilakukan pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat. Hal ini dapat
ditunjukan adanya korban akibat bergai kerusuhan yang terjadi di tanah air. Misalnya,
korban hilang dalam berbagai kerusuhan di Jakarta, Aceh, Ambon dan Papua
diperkirakan ada 1148 orang hilang dalam kurun waktu 1965 – Januari 2002
(Kompas 1 Juni 2002).
Kita juga dapat dengan mudah menemukan pelanggaran HAM
di sekitar kita yang menimpa anak – anak. Misalnya, dalam kehidupan sehari –
hari kita menyaksikan banyak anak (dibawah umur 18 tahun) dipaksa harus bekerja
mencari uang, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya maupun untuk membantu
keluarganya atau pihak lain. Ada yang menjadi pengamen di jalanan, menjadi
buruh, bahkan dieksploitasi untuk pekerjaan-pekerjaan yang tidak patut. Mereka
telah kehilangan hak anak berupa perlindungan oleh orang tua, keluarga,
masyarakat dan negara, perlindungan dari eksploitasi ekonomi, dan pekerjaan.
Begitu pula kita juga dapat menemukan kasus sejumlah
anak yang melanggar hukum (berkonflik dengan hukum). Misalnya data Lembaga
Advokasi Anak (LAdA) Lampung menyatakan jumlah anak yang berkonflik dengan
hukum selama Januari–Maret 2008 mencapai 83 orang. Pelanggaran hukum yang
dilakukan anak–anak adalah pencurian, penganiayaan, penggunaan narkoba,
pemerkosaan, perampasan, penodongan, pembunuhan, perjudian, perampokan,
penjambretan, curanmor, dan perkelahaian (“Anak – anak Berkonflik dengan
Hukum”, Kompas, 7 April 2008).
Dalam kehidupan sehari–hari kasus pelanggaran HAM oleh
seseorang/masyarakat terutama pada perbuatan main hakim sendiri, seperti
pertikaian antar kelompok (konflik sosial), pengeroyokan, pembakaran sampai
tewas terhadap orang yang dituduh atau ketangkap basah melakukan pencurian.
Kebiasaan pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri dalam menyelesaikan
pertikaian atau konflik juga tampak sangat kuat di kalangan para pelajar.
Hal ini tentunya sangat memprihatinkan, karena
mencerminkan suatu kehidupan yang tidak beradab yang semestinya dalam
menyelesaikan persoalan (konflik) dilakukan dengan cara–cara yang bermartabat
seperti melakukan perdamaian , mengacu pada aturan atau norma yang berlaku,
melalui perantara tokoh–tokoh masyarakat/adat, dan lembaga–lembaga masyarakat
yang ada.
Berikut ini dipaparkan beberapa contoh pelanggaran HAM
yang menjadi sorotan nasional bahkan internasional :
a. Kasus Marsinah Kasus ini berawal dari unjuk
rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993. Aksi
ini berbuntut dengan di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang
menimpa kawan-kawannya Pada 5 Mei 1993 Marsinah ‘menghilang’, dan akhirnya pada
9 Mei 1993, Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan di hutan
Wilangan Nganjuk.
b. Kasus Trisakti dan Semanggi Kasus Trisakti
dan Semanggi, terkait dengan gerakan reformasi. Arah gerakan reformasi adalah
untuk melakukan perubahan yang lebih baik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Gerakan reformasi dipicu oleh krisis ekonomi tahun 1997. Krisis
ekonomi terjadi berkepanjangan karena fondasi ekonomi yang lemah dan
pengelolaan pemerintahan yang tidak bersih dari KKN (Korupsi Kolusi dan
Nepotisme). Gerakan reformasi yang dipelopori mahasiswa menuntut perubahan dari
pemerintahan yang otoriter menjadi pemerintahan yang demokratis,
mensejahterakan rakyat dan bebas dari KKN.
Demonstrasi merupakan senjata mahasiswa untuk menekan
tuntutan perubahan ketika dialog mengalami jalan buntuk atau tidak efektif.
Ketika demonstrasi inilah berbagai hal yang tidak dinginkan dapat terjadi.
Karena sebagai gerakan massa tidak mudah melakukan kontrol. Bentrok fi sik
dengan aparat kemanan, pengrusakan, penembakan dengan peluru karet maupun tajam
inilah yang mewarai kasus Trisakti dan Semanggi. Kasus Trisakti terjadi pada 12
Mei 1998 yang menewaskan 4 (empat) mahasiswa Universitas Trisakti yang terkena
peluru tajam. Kasus Trisakti sudah ada pengadilan militer. Tragedi Semanggi I
terjadi 13 November 1998 yang menewaskan setidaknya 5 (lima) mahasiswa, sedangkan
tragedi Semanggi II pada 24 September 1999, menewaskan 5 (lima) orang.
Dengan jatuhnya korban pada kasus Trisakti, emosi
masyarakat meledak. Selama dua hari berikutnya 13 – 14 Mei terjadilah kerusuhan
dengan membumi hanguskan sebagaian Ibu Kota Jakarta. Kemudian berkembang meluas
menjadi penjarahan dan aksi SARA (suku, agama, ras, dan antar golongan). Akibat
kerusuhan tersebut, Komnas HAM mencatat :
1) 40 pusat perbelanjaan terbakar;
2) 2.479 toko hancur;
3) 1.604 toko dijarah;
4) 119 mobil hangus dan ringsek;
5) 1.026 rumah penduduk luluh lantak;
6) 383 kantor rusak berat; dan
7) 1.188 orang meninggal dunia. (GATRA, 9
Januari 1999).
Dengan korban yang sangat besar dan mengenaskan di
atas, itulah harga yang harus dibayar bangsa kita ketika menginginkan perubahan
kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik. Seharusnya hal itu masih
dapat dihindari apabila semua anak bangsa ini berpegang teguh pada nilai –
nilai luhur Pancasila sebagai acuan dalam memecahkan berbagai persoalan dan
mengelola negara tercinta ini. Peristiwa Mei tahun 1998 dicatat disatu sisi
sebagai Tahun Reformasi dan pada sisi lain sebagai Tragedi Nasional.
c. Kasus Bom Bali Peristiwa peledakan bom
oleh kelompok teroris di Legian Kuta Bali 12 November 2002, yang memakan korban
meninggal dunia 202 orang dan ratusan yang luka-luka, semakin menambah
kepedihan kita. Apa lagi yang menjadi korban tidak hanya dari Indonesia, bahkan
kebanyakan dari turis manca negara yang datang sebagai tamu di negara kita yang
mestinya harus dihormati dan dijamin keamanannya.
3. Faktor Penyebab Terjadinya Pelanggaran HAM
Mengapa pelanggaran hak asasi manusia sering terjadi
di Indonesia, meskipun seperti telah dikemukakan di atas telah dijamin secara
konstitusional dan telah dibentuknya lembaga penegakan hak asasi manusia. Apa
bila dicermati secara seksama ternyata faktor penyebabnya kompleks.
Faktor–faktor penyebabnya antara lain:
a. masih belum adanya kesepahaman pada tataran
konsep hak asasi manusia antara paham yang memandang HAM bersifat universal
(universalisme) dan paham yang memandang setiap bangsa memiliki paham HAM
tersendiri berbeda dengan bangsa yang lain terutama dalam pelaksanaannya
(partikularisme);
b. adanya pandangan HAM bersifat
individulistik yang akan mengancam kepentingan umum (dikhotomi antara
individualisme dan kolektivisme);
c. kurang berfungsinya lembaga–lembaga
penegak hukum (polisi, jaksa dan pengadilan); dan
d. pemahaman belum merata tentang HAM baik
dikalangan sipil maupun militer.
Disamping faktor-faktor penyebab pelanggaran hak asasi
manusia tersebut di atas, menurut Effendy salah seorang pakar hukum, ada faktor
lain yang esensial yaitu “kurang dan tipisnya rasa tanggungjawab”.
4. Menanggapi Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Indonesia
Kasus–kasus pelanggaran HAM di Indonesia sebagaimana
telah dikemukakan di depan membawa berbagai akibat. Akibat itu, misalnya
menjadikan masyarakat dan bangsa Indonesia sangat menderita dan mengancam
integrasi nasional. Bagaimana kita menanggapi kasus kasus pelanggaran HAM di
Indonesia? Sebagai warga negara yang baik harus ikut serta secara aktif
(berpartisipasi) dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi bangsa dan
negaranya, termasuk masalah pelanggaran HAM. Untuk itu tanggapan yang dapat
dikembangkan misalnya : bersikap tegas tidak membenarkan setiap pelanggaran
HAM. Alasannya:
a. dilihat dari segi moral merupakan perbuatan
tidak baik yakni bertentangan dengan nilai–nilai kemanusiaan;
b. di lihat dari segi hukum, bertentangan
dengan prinsip hukum yang mewajibkan bagi siapapun untuk menghormati dan
mematuhi instrumen HAM;
c. dilihat dari segi politik membelenggu
kemerdekaan bagi setiap orang untuk melakukan kritik dan kontrol terhadap
pemerintahannya. Akibat dari kendala ini, maka pemerintahan yang demokratis
sulit untuk di wujudkan.
Disamping tanggapan kita terhadap pelanggaran HAM
berupa sikap tersebut di atas, juga bisa berupa perilaku aktif. Perilaku aktif
yakni berupa ikut menyelesaikan masalah pelanggaran HAM di Indonesia, sesuai
dengan kemampuan dan prosedur yang dibenarkan. Hal ini sesuai dengan amanat
konstitusi kita (dalam Pembukaan UUD 1945) bahwa kemerdekaan yang
diproklamasikan adalah dalam rangka mengembangkan kehidupan yang bebas. Juga
sesuai dengan “Deklarasi Pembela HAM” yang dideklarasikan oleh Majelis Umum PBB
pada tangal 9 Desember 1998. Isi deklarasi itu antara lain menyatakan “setiap
orang mempunyai hak secara sendiri–sendiri maupun bersama– sama untuk ikut
serta dalam kegiatan menentang pelanggaran HAM”.
Dengan kata lain tanggapan terhadap pelanggaran HAM di
Indonesia dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, yakni :
a. Mengutuk, misalnya dalam bentuk tulisan
yang dipublikasikan melalui majalah sekolah, surat kabar, dikirim ke lembaga
pemerintah atau pihak–pihak yang terkait dengan pelanggaran HAM. Bisa juga
kecaman/ kutukan itu dalam bentuk poster, dan demonstrasi secara tertib.
b. Mendukung upaya lembaga yang berwenang untuk
menindak secara tegas pelaku pelanggaran HAM. Misalnya mendukung digelarnya
peradilan HAM, mendukung upaya penyelesaian melalui lembaga peradilan HAM
internasional, apabila peradilan HAM nasional mengalami jalan buntu.
c. Mendukung dan berpartisipasi dalam
setiap upaya yang dilakukan pemerintah dan masyarakat untuk memberikan bantuan
kemanusiaan. Bantuan kemanusiaan itu bisa berwujud makanan, pakaian,
obat-obatan atau tenaga medis. Partisipasi juga bisa berwujud usaha menggalang
pengumpulan dan penyaluran berbagai bantuan kemanusiaan.
d. Mendukung upaya terwujudnya jaminan
restitusi, kompensasi, dan rehabilitasi bagi para korban pelanggaran HAM.
Restitusi merupakan ganti rugi yang dibebankan pada para pelaku baik untuk
korban atau keluarganya. Jika restitusi dianggap tidak mencukupi, maka harus
diberikan kompensasi. Di samping restitusi dan kompensasi, korban juga berhak
mendapat rehabilitasi yang bisa bersifat psikologis, medis, dan fisik.
Rehabilitasi psikologis misalnya pembinaan kesehatan mental untuk terbebas dari
trauma, stres dan gangguan mental yang lain. Rehabilitasi medis, yaitu berupa
jaminan pelayanan kesehatan. Sedangkan rehabilitasi fisik bisa berupa
pembangunan kembali sarana dan prasarana, seperti perumahan, air minum,
perbaikan jalan, dan lain – lain.
5. Contoh Kasus Pelanggaran HAM dan Upaya Penegakannya
Kasus pelanggaran HAM dapat terjadi di lingkungan apa
saja, termasuk di lingkungan sekolah. Sebagai tindakan pencegahan maka di
lingkungan sekolah antara lain perlu dikembangkan sikap dan perilaku jujur,
saling menghormati, persaudaraan dan menghindarkan dari berbagai kebiasaan
melakukan tindakan kekerasan atau perbuatan tercela yang lain. Misalnya, dengan
mengembangkan nilai-nilai budaya lokal yang sangat mulia.
Contoh Hasus Pelanggaran HAM
Penganiayaan atas Kepala Sekolah SLTP 1 Raha, La
Diallah dan Satpam Teguh (5 Juni 2004).
Peristiwa tersebut diawali dari Risman Alim murid
kelas 2 SMP 1 Raha yang sering mabuk-mabukan. Risman adalah anak Bripka Alim
Saman anggota Polres Muna. Karena sering mabuk Risman dipanggil guru bidang
Bimbingan dan Penyuluhan dan dinasihati. Orang tua Risman pun sempat dipanggil
menghadap. Ketika ujian kelas 3 berlangsung, Risman datang terlambat ke sekolah
dan terlihat mabuk. Guru yang menanyai Risman merasa dibohongi muridnya dan
menendang kaki Risman. Hal itu membuat orang tua Risman marah dan mendatangi
sekolah , kemudian menganiaya Kepala Sekolah SLTP 1 Raha La Diallah dan Satpam
Teguh. “Dia juga mengancam akan membom sekolah karena mengaku memiliki dua bom
dan menembaki para guru”, tambah Edy Siregar Sekretaris PGRI Kabupaten Muna.
Akibat peristiwa tersebut, para guru melakukan aksi mogok mengajar di Kabupaten
Muna, Sulawesi Tenggara sebagai wujud solidaritas atas tindakan penganiayaan
terhadap Kepala Sekolah SLTP 1 Raha dan Satpam Teguh.
Para guru tidak puas dengan penanganan yang dilakukan
Kapolres. “Bahkan ketika dipanggil DPRD Kapolres tidak hadir, sepertinya
Kapolres Muna melindungi anak buahnya,”. Atas dasar pertimbangan bahwa kasus
ini tidak ditanggapi para pejabat terkait, maka sekitar sepuluh orang
perwakilan guru dari Kabupaten Muna Sulawesi Tenggara mendatangi Kantor Komnas
HAM. Anngota Komnas HAM, MM Billah berjanji akan mendatangi tempat kejadian,
dan akan menindaklanjuti sebagai kasus HAM tapi bukan pelanggaran HAM berat
(Tempo Interaktif, 21 Juni 2004).
Upaya penegakan terhadap kasus pelanggaran HAM
tergantung pada apakah pelanggaran HAM itu masuk kategori berat atau bukan. Apabila
berat, maka penyelesaiannya melalui Peradilan HAM, namun apabila pelanggaran
HAM bukan berat melalui Peradilan Umum. Kita sebagai manusia dan
sekaligus sebagai warga negara yang baik, bila melihat atau mendengar
terjadinya pelanggaran HAM sudah seharusnya memiliki kepedulian. Meskipun
pelanggaran itu tidak mengenai diri kalian atau keluarga kalian. Kita sebagai
sesama anak bangsa harus peduli terhadap korban pelanggaran HAM atas sesamanya.
Baik korban itu anak, wanita, laki–laki, berbeda agama, suku dan daerah semua
itu saudara kita. Saudara kita di Merauke–Papua menyatakan “IZAKOD BEKAI IZAKOD
KAI” (satu hati satu tujuan) . Kepedulian kita terhadap penegakan HAM merupakan
amanah dari nilai Pancasila yakni kemanusiaan yang adil dan beradab yang
sama–sama kita junjung tinggi, karena akan dapat menghantarkan sebagai bangsa
yang beradab. Oleh karena itu sikap tidak peduli harus dihindari.
D. MENGHARGAI UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA
Upaya perlindungan HAM penekanannya pada berbagai
tindakan pencegahan terhadap terjadinya pelanggaran HAM. Perlindungan HAM
terutama melalui pembentukan instrumen hukum dan kelembagaan HAM. Juga dapat
melalui berbagai faktor yang berkaitan dengan upaya pencegahan HAM yang
dilakukan individu maupun masyarakat dan negara. Negaralah yang memiliki tugas
utama untuk melindungi warga negaranya termasuk hak- hak asasinya.
Kapan jaminan perlindungan HAM dinyatakan telah di
laksanakan? Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional
maupun telah dibentuk lembaga untuk penegakannya, tetapi belum menjamin bahwa
hak asasi manusia dilaksanakan dalam kenyataan kehidupan sehari–hari atau dalam
pelaksanaan pembangunan. Lukman Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator
bahwa suatu pembangunan telah melaksanakan hak–hak asasi manusia apabila telah
menunjukkan adanya indikator-indikator, sebagai berikut :
1. dalam bidang politik berupa kemauan
pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan kepentingan
dalam masyarakat;
2. dalam bidang sosial berupa perlakuan yang
sama oleh hukum antara wong cilik dan priyayi dan toleransi dalam masyarakat
terhadap perbedaan atau latar belakang agama dan ras warga negara Indonesia,
dan
3. dalam bidang ekonomi dalam bentuk tidak
adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku.
Ketiga indikator tersebut jika dipakai untuk melihat
pelaksanaan pembangunan di Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan
ekonomi masih jauh dari yang diharapkan. Kehidupan politik masih cenderung
didominasi konflik antar elit politik sering berimbas pada konflik dalam
masyarakat (konfl ik horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan
kepentingan diri/kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat sebagai
konstiuennya diabaikan. Ingat berkecamuknya konfl ik di Ambon, Poso, konflik
prokontra pemekaran provinsi di Papua, dan konfl ik antar simpatisan partai
politik (akhir Oktober 2003) di Bali.
Di bidang hukum masih terlihat lemahnya penegakan
hukum, banyak pejabat yang melakukan pelanggaran hukum sulit dijamah oleh
hukum, sementara ketika pelanggaran itu dilakukan oleh wong cilik hukum tampak
begitu kuat cengkeramannya. Dalam masyarakat juga masih tampak kurang adanya
toleransi terhadap perbedaan agama, ras konflik. Berbagai konflik dalam
masyarakat paling tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA.
Sedangkan di bidang ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang
(konglomerat) yang menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk
berusaha.
Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa
Indonesia begitu sulit untuk keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial.
Ini berarti harus diakui bahwa dalam pelaksanaan hak asasi manusia masih banyak
terjadi pelanggaran dalam berbagai bidang kehidupan. Pelanggaran baik dilakukan
oleh penguasa maupun masyarakat, namun ada kecenderungan pihak penguasa lebih
dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi
kepentingan yang seringkali dilakukan dengan cara–cara manipulasi\sehingga
mengorbankan hak – hak pihak lain. Seperti kebijakan pemerintah mengenai impor
beras, dirasakan sangat merugikan para petani. Dalam bentuk kegiatan seperti
apa menghargai upaya perlindungan HAM? Menghargai upaya perlindungan HAM dapat
diwujudkan dalam berbagai kegiatan untuk mencegah terjadinya pelanggaran HAM.
Berbagai kegiatan yang dapat dimasukan dalam upaya perlindungan HAM antara
lain:
1. Kegiatan belajar bersama, berdiskusi untuk
memahami pengertian HAM;
2. Mempelajari peraturan perundang – undangan
mengenai HAM maupun peraturan hukum pada umumnya, karena peraturan hukum yang
umum pada dasarnya juga telah memuat jaminan perlindungan HAM;
3. Mempelajari tentang peran lembaga–lembaga
perlindungan HAM, seperti Komnas HAM, Komisi Nasional Perlindungan Anak (KNPA),
LSM, dan seterusnya;
4. Memasyarakatkan tentang pentingnya memahami
dan melaksanakan HAM, agar kehidupan bersama menjadi tertib, damai dan
sejahtera kepada lingkungan masing– masing;
5. Menghormati hak orang lain, baik dalam
keluarga, kelas, sekolah, pergaulan, maupun masyrakat;
6. Bertindak dengan mematuhi peraturan yang
berlaku di keluarga, kelas, sekolah, OSIS, masyarakat, dan kehidupan bernegara;
7. Berbagai kegiatan untuk mendorong agar
negara mencegah berbagai tindakan anti pluralisme (kemajemukan etnis, budaya,
daerah, dan agama);
8. Berbagai kegiatan untuk mendorong aparat
penegak hukum bertindak adil;
9. Berbagai kegiatan yang mendorong agar negara
mencegah kegiatan yang dapat menimbulkan kesengsaraan rakyat untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya seperti, sandang, pangan, papan, kesehatan dan pendidikan.
E. MENGHARGAI UPAYA PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA
Upaya penegakan HAM dapat dilakukan melalui jalur
hukum dan politik. Maksudnya terhadap berbagai pelanggaran HAM maka upaya
menindak para pelaku pelanggaran diselesaikan melalui Pengadilan HAM bagi
pelanggaran HAM berat dan melalui KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi).
Upaya penegakan HAM melalui jalur Pengadilan HAM, mengikuti ketentuan-ketentuan
antara lain, sebagai berikut:
1. Kewenangan memeriksan dan memutus perkara
pelanggaran hak asasi manusia yang berat tersebut di atas oleh Pengadilan HAM
tidak berlaku bagi pelaku yang berumur di bawah 18 tahun pada saat kejahatan
dilakukan.
2. Terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang terjadi sebelum diundangkan UURI No.26 Tahun 2000, diperiksa dan diputus
oleh Pengadilan HAM ad hoc. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc diusulkan oleh
DPR berdasarkan pada dugaan telah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang
berat yang dibatasi pada tempat dan waktu perbuatan tertentu (locus dan tempos
delicti ) yang terjadi sebelum diundangkannya UURI No. 26 Tahun 2000.
3. Agar pelaksanaan Pengadilan HAM bersifat
jujur, maka pemeriksaan perkaranya dilakukan majelis hakim Pengadilan HAM yang
berjumlah 5 orang. Lima orang tersebut, terdiri atas 2 orang hakim dari
Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 orang hakim ad hoc (diangkat di luar
hakim karir).
Sedang penegakan HAM melalui KKR penyelesaian
pelanggaran HAM dengan cara para pelaku mengungkapkan pengakuan atas kebenaran
bahwa ia telah melakukan pelanggaran HAM terhadap korban atau keluarganya,
kemudian dilakukan perdamaian. Jadi KKR berfungsi sebagai mediator antara
pelaku pelanggaran dan korban atau keluarganya untuk melakukan penyelesaian
lewat perdamaian bukan lewat jalur Pengadilan HAM. Dalam upaya penegakan HAM
peran korban dan saksi sangat menentukan, oleh karena itu mereka perlu
memperoleh jaminan keamanan. Bagaimanakah jaminan terhadap para korban dan
saksi yang berupaya menegakkan HAM? Dalam rangka memperoleh kebenaran faktual,
maka para korban dan saksi dijamin perlindungan fisik dan mental dari ancaman,
gangguan, teror dan kekerasan dari pihak manapun. Kemudian untuk memenuhi rasa
keadilan maka bagi setiap korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat
berhak memperoleh ganti rugi oleh negara (kompensasi), ganti rugi oleh pelaku
atau pihak ketiga (restitusi), pemulihan pada kedudukan semula, seperti nama
baik, jabatan, kehormatan atau hak-hak lain (rehabilitasi). Kegiatan seperti
apa yang dapat digolongkan sebagai menghargai upaya penegakan HAM? Secara
sederhana ukuran yang dapat dipakai untuk menentukan kegiatan yang dapat
digolongkan (dikategorikan) menghargai upaya penegakan HAM adalah setiap sikap
dan perilaku yang positif untuk mendukung upaya–upaya menindak secara tegas
pelaku pelanggaran HAM baik melalui jalur hukum maupun melalui jalur politik,
seperti KKR, pemberian rehabilitasi, restitusi, dan kompensasi.
Beberapa contoh kegiatan yang dapat dimasukan
menghargai upaya penegakan HAM, antara lain :
1. Membantu dengan menjadi saksi dalam proses
penegakan HAM;
2. Mendukung para korban untuk memperoleh
restitusi maupun kompensasi serta rehabilitasi;
3. Tidak mengganggu jalannya persidangan HAM di
Pengadilan HAM;
4. Memberikan informasi kepada aparat penegak
hukum dan lembaga–lembaga HAM bila terjadi pelanggaran HAM;
5.
Mendorong untuk dapat menerima cara rekonsiliasi melalui KKR kalau lewat jalan
Peradilan HAM mengalami jalan buntu, demi menghapus dendam yang berkepanjangan yang
dapat menghambat kehidupan yang damai dan harmonis dalam bermasyarakat.
0 comments:
Post a Comment